Selasa, 25 Oktober 2011

♥ Prince Charming jilid 4 ♥

Saat pengumuman berlangsung semua murid mulai tidak tertib. Di tengah-tengah keramaian aku fokuskan diriku untuk mencari seorang lelaki berkulit putih, mancung, dan tinggi. Dan aku melihatnya, lelaki itu Vicky berdiri tegak senang menatap ke arahku. Tatapan berbeda, tatapanny dingin kepadaku. Tidak lama tatapannya ku balas, suara Ramond terdengar. Ia membubarkan keramaian kami dengan menyelesaikan Upacara hari itu. Dafa menhampiriku dan membahas tentang wisata yg direncakan besok hari. “loe, besok ikut wisata kan?’’ . aku tak menghiraukan sedikitpun perkataan lelaki di sebelahku itu. Aku hanya memikirkan apa maksud dari tatapan Vicky itu. Apakah ada yang salah dariku apakah aku telah berkata yang salah denganny. Entahlah. Terdengar suara Dafa yang kini wajahnya lebih dekat denganku. “Ran ? loe kenapa ?” .akupun tersadar “iyaa ky”. Tanpa sadar, akupun mengeluarkan nama seorang yang tadi telah aku fikirkan lelaki yang selama ini aku khawatirkan , Vicky , bukan kekasihku Dafa. “maksud loe? Oh, jadi loe ga nyimak apa yang gue omongin, tapi loe malah fikirin cowok itu, jadi bner firasat gue kalo loe sama dia ‘fallin love’ IYAKAN!’’ aku kaget dengan reaksi Dafa yang begitu keras dengan hingga membuat dia berdiri tegak. Akupun ikut berdiri “maksud loe apa? , gue tu cuman” perkataan ku terhenti saat di otakku mengulang perkataan Dafa jadi bner firasat gue kalo loe sama dia ‘fallin love’. Apa ini ? tiba-tiba dadaku terasa sakit, jantungku berdebar begitu kuat dan aku mulai memgangi dadaku dengan kedua tangan “awww, faa please gugugu...guee minta...” . sontak Dafa menangkap tubuhku dan berkata “gue maafin loe, sumpah. Gue ga bakal nuduh loe yang gak gak. Gue syg sma loe Ran. Maafin gue”. Dengan memegang salah satu tangan ku Dafa meminta maaf atas tuduhanny padaku. Tiba-tiba seketika rasa sakit itu hilang. Aku mulai tak mengerti dengan sakit yang sering ku rasa itu. Apakah ini ada kaitannya dengan Dafa atau mungkin ini hanya penyakit biasa.  Kejadian itu ternyata di saksikan oleh Mona. Sahabtu dan sahabt Vicky pula. Mona menghampiri kamu dan menepuk salah satu pundak Dafa. “fa, jaga sahabat terbaik gue ini, yaa. Gue gamau dy sakit hati gara-gara seorang cwok. Dan gue yakin loe emg cowok yang pas buat dia” Dafa melempar senyuman dengan Mona, yang lalu di balas senyum oleh Mona.

Hari itu, kami memang sekolah hanya untuk pengarahan. Jadi, kami pulang cepat. Saat pulang, aku sempat beberapa menit berada di toilet untuk merapikan seragamku. Disana, aku bertemu Mona. “mona?” (sembari mengeluarkan senyum ke sahabatku itu). Tiba-tiba Mona memelukku, dan berkata “gue ga tahan Ran, gue gamau loe tinggalin gue sebagai sahabat. Jujur, ini dilema buat gue. Gue syg bgt sama loe, loe sahabat gue. Loe tau kan, walaupun kita belom lama jadi sahabat, tapi gue gamau pisah sama loe. Apalagi sampai loe benci sama gue” . airmata itu turun begitu deras di seragam ku. Aku ingin melepaskan pelukan Mona, dan ingin menatapnya. Tapi, tidak. Tidak bisa. Mona seakan tak ingin pergi dari sisiku. Beberapa menit ia menangis dalam pelukku. Ia berlalu meninggalkan ku sendiri tanpa memberi penjelasan yang pasti mengenai tangisan dan perkataannya itu. Aku ? benci dengan Mona ? itu seakan tak mungkin, Mona sudah seperti Ibu kedua bagiku. Ia sahabat yang sangat bisa memerhatikanku. Selama aku hidup, mungkin ia adalah sahabat terbaik dalam hidupku. Ia tak seperti wanita lain, ia berbeda. Hmm apa maksudnya. Akupun semakin bingung dengan semua ini Tuhan. Mulai dari Vicky, yang tidak pernah berkomunikasi denganku, bahakan tadi sempat menatapku dingin. Sekarang, Mona yang menangis dalam pelukku dengan alasan yang tak pasti. Tanpa sadar, akupun meneteskan serpihan air mata. Aku buru-buru menghapus air mata itu, karena mendenga alunan lagu dari Angela Zhang-Bu xiang dong de pertanda ada peasan masuk. Saat ku baca, benar. Dafa menungguku terlalu lama. Akhirnya akupun keluar dari kamar mandi dan mencari Dafa di parkiran.
“loe kemana aja sayang? Ada msalah tadi? kok lama banget gue tunggu?”
“mm maaf fa, gue tadi abis ketemu Mona. Dy nangis waktu ketemu gue. Yaudaa, gue lama. Maaf yaa” aku berusaha menjelaskan dengan wajah khawatir.
“haha hm yaudah nanti sampe di rumah, loe mau kan cerita sama gue?” Dafa meminta. Aku tersenyum dengan berarti aku mengiyakan permintaan kekasihku itu.
                                                                         ***
Malam ini, aku memutar kembali kejadian-kejadian pagi tadi. mulai saat Vicky menatapku dingin, detak jantung itu, sampai Mona menangis di pelukanku. Apa semua ini ? aku sunggu tidak bisa menyatukan teka-teki ini. Aku rasa, ada yang salah. Tapi aku tak mengerti sedikitpun. Aku mulai merapikan barang-barang untuk ku bawakan besok saat wisata perkemahan. Aku membawa pakaian secukupnya. Karena disana udaranya pasti sangat dingin, makanya aku membawa beberapa pakaian yang tebal. Serta tidak lupa. Boenka lumba-lumba biruku, pemberian Dafa. Malam itu, aku tidur dengan nyenyak seperti hari biasa, sebelumnya aku telah menceritakan kejadianku bersama Mona di toilet. Dafa lebih ke reaksi menenangkan ku bahwa takkn terjadi apa-apa dengan persahabatnku itu. Yah, dan akupun berharap begitu.
                                                                         ***
Pagi menyinari kamar ku seperti biasa. Alunan lagu Chen Wei-I don’t want to know berdering tepat di telingaku. Akupun bangun tanpa menghiraukan siapa yang menelfonku pagi itu. “bangun Ran, udah pagi. Loe ga boleh telat dateng ke sekolah. Bus gamau nunggu yang telat loh. Hehe gue harap disana semuanya terungkap Ran. Gue mau loe bahagia sma pilihan loe Tamara Arlinda Kirana”. Aku tersentak dan kemudian menatap layar hadphoneku ternyata panggilan sudah ditutup. Saat kubuka list panggilan masuk ku, ia menggunakan Private Number. Sontak aku memukul mukul-mukul badanku sendiri. Betapa bodohnya aku, mengapa aku tak buru-buru menanyakan siapa laki-laki itu. Suaranya, aku menegnal suara itu, tapi aku masih bimbang bahwa itu Dafa. Saking kesalny pada diriku, aku pun lupa bahwa pagi itu aku harus buru-buru berangkat, karena selain akan pergi wisata dari sekolah. Hari itu aku akan diantar oleh ayahku. Dafa tak mungkin menjemputku, ia akan diantar juga oleh supirnya.

Aku telah siap dengan tas ransel besarku. Aku mnegnai baju putih dengan jaket panjang berwarna biru. Dan jelana jin’s hitam, tak ketinggalan syak biru ku. Aku siap melangkah hari itu, dan segera berpamitan dengan mamaku. Saat aku menaikkan kaki ku ke Grand Livina Grey itu, ibuku berteriak “Hati-hati nak. Jaga diri kamu yaa” dengan senyuman khas dari mamaku. Aku blas senyuman itu dengan lambaian tangan dan senyuman indah ku juga.

Di tengah perjalanan ayah membuka pembicaraan. “nak, bagaimana hubungan kamu dengan Dafa ?”
“aah baik-baik aja pa, knp ?” aku tak mengerti maksud dari pembicaraan ayahku itu. Setelah itu, ia tak menjawab pertanyaan ku lagi.
Sesampainya di depan skolah, sudah banyak kerumunan para murid yang siap untuk menjelajah tempat wisata yang dalam benakku memang sangat berbeda. Dan aku bisa melupakan semua kepenatan yang ada, tapi aku berfikir mana mungkin semua kepenatan akan hilang jika dua objek yang sedang ada di benakku akan ada di sejauh mataku memandang. Vicky dan Mona. Saatnya aku berpamitan dengan ayahku, dan keluar dari Grand Livina Grey tersebut. Tiba-tiba Mona menghampiriku dan mengajakku duuduk bersama. Karena memang, dalam satu bus diisi untuk kelas yang sama. Aku dan Mona. Vicky, dan sebenarnya aku berat mengatakan bahwa Rinda satu kelas dengan Vicky. Selanjutnya, kekasihku, Dafa berbeda kelas dariku mupun Vicky dan Mona. Tepat pukul 9 pagi, depan sekolah ku, telah banyak terkumpul para murid kelas 9 yang sangat antusias, tapi tidak denganku, entah mengapa aku menjadi terpikir omongan ayah. Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita dengan Mona saat diperjalanan nanti. “baik sohib-sohibku tercinta, saya yakin kalian bisa menjaga diri kalian masing-masing, setelah saya membubarkan kalian, silahkan memasuki bus kalian masing-masing sesuai kelas kalian. Are you readyyyyyy?” suara itu , yaa itu adalah suara Ramond. Lelaki paruhbaya yang masih merasa muda. Setelah ia membubarkan kami, kamipun masuk ke dalam bus masing-masing. Diperjalanan aku sedikit melupakan semua kepenatan yang baru-baru ini adadalam benakku. Itu semua karena tingkah laku teman-temanku ada yang memainkan alat musik sambil bernyanyi yaitu; Syifa dan Andre . ia berdua memang mempunyai bakat bernyanyi dan memainkan alat musik. Ada Fani dan Ratna yang sibuk merekam kejadian-kejadian kami di dalam bus. Sisanya ikut bernyanyi bersama Syifa dan Andre. Aku dan Mona pun ikut bernyanyi bersama seperti anak-anak yang lain. Saat di perjalanan yang sekiranya belum jauh dari tempat keberangkatan kami, aku menceritakan semua kejadian seperti Vicky yang mulai menghindariku, dan perkataan ayah padaku. “mungkin Vicky emg butuh waktu buat sendiri Ran, udah loe harus lupain dy juga. Loe juga harus bisa terbiasa dengan sikap nya itu, lagian loe kan udah punya ‘Prince Charming’ Dafa loe itu, cieeee eheem” itulah reaksi Mona saat aku menceritakan Vicky aku pun hanya tersenyum dan mengerti, mungkin?. Aku juga memutuskan tidak menceritakan tentang telfon tadi pagi dengan Mona aku tidak mau membuat sahabtku itu terbebani juga. Cukup aku.

Hari itu udara sangat menyenangkan. Sejuk, dan angin pun bersahabat. 1 jam perjalanan telah habis, dan tiba-tiba bus berhenti, ternyata memang kami sudah sampai di tempat tujuan. Tempat itu bisa aku lukiskan, indah karena semuanya penuh dengan hijaunya rumput dan pepohonan. Tidak seperti yang ku bayangkan. Aku fikir seperti hutan belantara yang tidak menyengkan. Tapi tempat itu mengubah khayalanku dan bahkan semua murid-murid mulai memasang tenda. Aku, Syifa, Mona, Fani dan Ratna memang skami satu tenda. Kami kesusahan untuk mendirikan tenda tersebut, karena kami memang tidak ahli dalam maslah perkemahan. Tiba-tiba seseorang yang tidak aku sangka datang, Vicky tiba-tiba mendirikan tenda itu. Membantu Syifa dan Mona. Aku hanya mampu melihat tingkah lelaki itu. Aku ingin sekali bertanya semua pertanyaan yang ada di fikiranku. Tapi entah mengapa aku merasa asing dengannya. Aku pun hanya mampu diam. Beberapa menit telah berlalu, dan tenda sudah tegak dengan bantuan Vicky. Tanpa ku sangka, Vicky menghampiriku, aku pun mengepal kedua tangan ku hingga menjadi bulatan. Agar semua emosi ku tertumpu. Vicky mulai mendekatiku. Aku pun tertunduk dengan tangan yang ku kepal tadi. Vicky memang tinggi, tinggiku sejajar dengan pundak atletis Vicky. Lalu, ia mengucapkan sesuatu padaku “Maafin gue”. Aku pun mmemberanikan diri melihat wajah Vicky. Ternyata ia tak menatapku, ia menatap ke arah depan. Setelah itu, ia berlalu pergi tanpa mengucapkan kata-kata apapun lagi.
Aku pun ikut berlalu dan ikut masuk ke dalam tenda untuk merapikan tampat nyaman untuk aku dan teman-teman ku di tenda.

Pagi, siang, sore kami telah lewati setengah hari dengan bercanda. Karena memang guru pembina di sana tidak membuat hal yang mengekang kami. Disana kami bebas melakukan aktifitas yang positif. Malamnya, acara api unggun telah disiapkan. Kami semua keluar dari tenda masing-masing dengan kebanyak memakai pakaian tebal karena memang udara pagi saja sudah dingin. Apalagi udara malam yang sangat dingin untuk kami. “gue mau nyanyi” suara itu sontak mengenyahkan aktifitas yang ada. Suara itu keluar dari mulut seorang lelaki Vicky. Keluarga Winata yang memiliki sifat jail. Tiba-tiba ingin bernyanyi. “lagu ini untuk wanita berinisial ‘R’ yang selama ini memang ada di hati gue. Gue ga pengen apa-apa dari loe. Gue cuman mau loe tau gue punya loe, meski loe bukan punya gue.” Kami semua langsung melirik Rinda, si Mrs. R yang dimaksud Vicky. Karena memang wanita itulah yang pernah menjadi milik Vicky sebelumnya. Mata Rinda berkilau. Mungkin ia memang sangat terharu dengan semua perkataan Vicky.
Bagaimana mestinya, membuatmu jatuh hati kepadaku..
Tlah kutuliskan sejuta puisi, ku yakinkanmu membalas cintaku
Haruskah ku mati kerana mu,
Terkubur dalam kesedihan sepanjang waktu, haruskah kurelakan hidupku.
Hanya demi cinta yang mungkin bisa membunuhku

Itulah lirik-lirik lagu yang ada di dalam lagu Ada Band-Haruskah ku mati. Aku memerhatikan Vicky dengan petikan gitarnya yang indah itu. Malam itu, aku tau sisi serius bahkan sisi romantis dari seorang Vicky. Ia memang terlihat gagah dengan postur tubuh yang memadai. Lelaki idaman setiap wanita. Aku pun tersadar dari lamunanku saat sebuah tangan menghampiri di puncak kepalaku. Tangan Dafa. Ia, menghampiriku. Kami berdua asyik dalam obrolan kami, dan aku merasa Vicky memerhatikan kami. Tidak lama kemudian, Vicky selesai dengan alunan indahnya itu.

To be continue

Tidak ada komentar:

Posting Komentar